Monday, July 09, 2007

Cari Uang Besar dari Rekayasa Keuangan


"Bukan bermaksud plagiat tapi saya mencoba mengutip langsung tulisan Pak Dahlan Iskan dari harian KALTIM POST edisi 9 Juli 2007 yang ternyata aksesnya cukup lambat ke situs tersebut, atas pertimbangan tersebut saya menghadirkan tulisan berikut sebagai bahan inspirasi kita semua dan untuk kebaikan kita semua"

CATATAN: DAHLAN ISKAN
MISALKAN Anda mempunyai rumah yang bagus. Rumah itu dibangun sendiri oleh kakek atau ayah Anda, sejak pasang batanya, kerangkanya, gentengnya, sampai membuat tamannya. Karena sudah punya rumah sendiri, Anda menyewakan saja rumah warisan itu. Tiap tahun Anda dapat uang sewa. Nilai rumah itu, katakanlah, paling tinggi sekarang Rp 10 miliar. Itu pun akan sulit cari pembeli yang mau segitu.
Tapi, Anda tidak pernah berpikir sedikit pun untuk menjual rumah itu. Anda bangga memiliki bangunannya, menyimpan sertifikat tanahnya, dan menikmati uang sewanya. Tiba-tiba, ada orang datang yang ingin membeli rumah itu dengan harga Rp 13 miliar. Meski mungkin mula-mula Anda langsung mengatakan “tidak akan jual rumah itu”, tapi apakah Anda tidak tergoda untuk memikirkannya?
Begitulah yang kian sering terjadi sekarang di dunia bisnis besar. Jual beli perusahaan terus semakin gila-gilaan. Meski sedang dirundung sengketa yang terus memanas dengan Wahaha, partner-nya di Tiongkok, Danone, sedang menawar dengan harga lebih tinggi perusahaan Kraft Food dari Chicago, AS. Ini perusahaan biskuit yang punya pasar terbesar di Eropa. Untuk membeli perusahaan itu, Danone harus mengeluarkan uang Rp 70 triliun. Jauh lebih tinggi daripada harga wajarnya.
Tentu, pada awalnya, Kraft tidak berniat menjual perusahaannya. Sebab, Kraft sendiri baru saja membeli perusahaan Inggris, United Biscuit unit Portugal dan Spanyol. Tapi karena tawaran Danone memang menggiurkan, jual beli perusahaan itu kini hampir tuntas. Maka, merek-merek terkenal seperti Ritz dan Oreo pun akan menjadi milik Danone. Seperti juga merek terkenal Tiongkok, Wahaha, dan merek terkenal di Indonesia, Aqua.

Merek-merek yang sudah beken, di samping penguasaan pasar dan keandalan manajemen di dalamnya, memang sedang diincar oleh orang-orang yang suka membeli perusahaan. Sebab, mereka menyadari membangun merek dari awal hingga terkenal tidaklah gampang. Memakan waktu panjang, kerja keras, dan biaya besar. Bagi mereka, membeli perusahaan yang sudah ’’jadi” lebih cepat dan mudah. Tinggal satu pekerjaan: mencari uang besar. Ini, mah, pekerjaan rekayasa keuangan biasa saja.
Cara seperti Danone, atau juga Walmart, juga dilakukan raja media asal Australia, Rupert Murdoch. Dulu dia membeli Times of London, koran paling besar dengan merek paling terkenal di Inggris. Kini Murdoch sedang menyelesaikan pembelian Dow Jones. Perusahaan ini, antara lain, memiliki harian Wall Street Journal, koran terbesar dan terkenal di Amerika. Melihat korannya juga diperlakukan seperti barang dagangan biasa seperti itu, beberapa karyawan Wall Street Journal kecewa. Lalu, mereka melakukan demonstrasi kecil-kecilan dengan membeber poster: Dijual, Walmart Journal!
Kalau seorang seperti Murdoch sudah mengincar merek dan reputasi sehebat itu, harga tidak jadi pertimbangan lagi. Meski pada awalnya ahli waris Dow Jones sama sekali tidak pernah berpikir untuk menjual perusahaannya, tapi karena tiba-tiba saja Murdoch memberikan keterangan kepada wartawan bahwa dia mau membeli Dow Jones dengan harga 50 persen lebih tinggi daripada nilai pasarnya, para ahli waris itu limbung. Ahli waris Dow Jones terkaget-kaget. Bukan saja tidak pernah terpikirkan menjual perusahaan, tapi juga belum pernah bicara apa pun dengan Murdoch. Tapi, melihat harga yang disebut itu luar biasa besar (sekitar Rp 48 triliun), lama-lama ahli waris Dow Jones memikirkannya. Kalau reaksi awalnya menolak mentah-mentah, lama-lama menjadi ’’kita pikir-pikir dulu’’. Lalu, ’’Yah, kalau harganya cocok, mengapa tidak?’’ Toh sang ahli waris tidak pernah merasakan susahnya membangun perusahaan itu dulu. Apalagi juga tidak memegang manajemennya. Semua sudah dipegang para profesional sehingga tinggal sesekali saja ’’rasa memiliki’’ mampir pada hatinya. Terutama saat lagi terima dividen. Maka, tidak mustahil bila perkembangan reaksi dari ’’menolak’’, menjadi ’’pikir-pikir’’, sampai ke ’’mengapa tidak’’, akhirnya tiba pada ujungnya: ’’setuju’’!
Di tingkat negara, Singapura-lah yang rajin membeli perusahaan di luar negeri. Negara yang jumlah kepemilikan handphone-nya kurang dari 5 juta itu (karena penduduknya hanya 3 juta) akan memiliki perusahaan telekomunikasi terbesar di Asia karena terus membeli perusahaan telekomunikasi di mana-mana. Termasuk, Telkomsel dan Indosat di Indonesia.

Di bidang penerbangan, Singapura yang bandaranya saja hanya satu (dan karena itu tidak punya penerbangan domestik) juga bisa memiliki perusahaan penerbangan terbesar karena akan terus membeli perusahaan penerbangan di negara lain. Bulan lalu Singapura membeli 25 persen saham China Eastern, perusahaan penerbangan ketiga terbesar di Tiongkok.
Dan pelabuhan Singapura hampir saja menjadi pelabuhan terbesar di dunia kalau saja tahun lalu berhasil memenangkan persaingan untuk membeli perusahaan pelabuhan London. Keunggulan manajemen Singapura di bidang telekomunikasi, pelabuhan (paling efisien di dunia), penerbangan (terbaik di dunia), dan perbankan memang jadi andalannya.

Kini, untuk menjadi besar, tidak lagi harus jual beli barang. Atau tidak harus mandi keringat, banting tulang membangun usaha mulai dari kecil. Itu sudah dianggap kuno dan lambat. Langsung saja membeli perusahaan yang sudah besar dan ternama. Bahwa harga lebih mahal daripada seharusnya, nanti ada hitungannya tersendiri.
Yang dilakukan Singapura sebenarnya masih juga agak kuno. Masih membeli perusahaan yang kurang baik karena ingin harga yang murah. Lalu, dengan keunggulan manajemennya, perusahaan itu dibenahi. Lama-lama berkembang pesat sehingga nilainya bertambah-tambah. Jelasnya, untuk ’’membeli’’ perusahaan, Singapura masih ’’menjual’’ manajemennya.
Tapi, yang dilakukan Danone atau Murdoch, atau yang lain-lain lagi (tidak mungkin disebutkan satu per satu di sini), sudah tingkat ’’mahir’’: membeli perusahaan yang sudah hebat dengan manajemen yang sudah tangguh. Biar pun harganya lebih mahal, manajemen yang baik akan dengan cepat ’’menutupi’’ selisih kemahalannya itu.
Bagaimana Tiongkok? Negeri ini, tampaknya, berpikir tidak perlu harus melewati tahap-tahap itu. Terlalu lambat. Tiongkok ingin langsung meloncat ke tingkat ’’pascamahir’’ itu tanpa melalui tahap yang dilakukan Singapura atau pun Murdoch.

Lihatlah: Tiongkok mulai membeli Blackstone Group, sebuah perusahaan di AS yang bisnis utamanya justru membeli perusahaan. Sudah ratusan perusahaan hebat-hebat dibeli oleh Blackstone. Dan kini Tiongkok membeli saham Blackstone itu! Tiongkok tidak perlu menunjukkan ’’harus berkuasa’’ di perusahaan tersebut. Manajemen Tiongkok memang belum dikenal hebat seperti manajemen Singapura atau Barat. Tiongkok awalnya membeli 9,9 persen saham Blackstone. Itu pun saham ’’nonvoting’’. Tentu, kepemilikan saham itu akan terus membesar karena Tiongkok akan menanam lagi USD 200 miliar ke Blackstone. Tujuannya agar Blackstone terus punya kemampuan untuk membeli perusahaan lebih banyak lagi. Termasuk membeli Bluestars Group, sebuah holding company milik pemerintah Tiongkok sendiri. Muter seperti susur dan sirih.
Dana USD 200 miliar (angka ini tidak perlu dirupiahkan karena nolnya terlalu panjang) yang akan dimasukkan ke Blackstone itu akan diambilkan dari sebagian cadangan devisa Tiongkok yang kini sudah mencapai USD 1,2 triliun –cadangan devisa terbesar di dunia.

Blackstone juga baru saja membeli Hotel Hilton Group sebesar USD 20 miliar (atau sekitar Rp 190 triliun). Blackstone langsung menarik Hilton dari pasar modal sehingga status perusahaan publik yang sudah disandangnya sejak 1946 berakhir.
Waktu itu, 60 tahun lalu, Hilton perlu go public karena hotel yang didirikan oleh keluarga Hilton pada 1919 di Texas ini ingin membeli hotel terkemuka di New York, Waldorf Astoria. Kini Hilton Group memiliki hotel di 2.800 lokasi, yang otomatis menjadi milik Blackstone, eh Tiongkok, eh Blackstone, eh Tiongkok, entahlah!
Untuk membeli kebesaran, kehebatan, reputasi, dan keandalan manajemen Hilton (kini menjadi jaringan hotel kedua terbesar di dunia setelah Marriott) itulah, Blackstone mau membeli perusahaan tersebut dengan tawaran harga 30 persen lebih mahal daripada sewajarnya.
Dalam kasus jual beli perusahaan seperti itu, mahal-murah benar-benar bukan persoalan besar. Murah-mahal, rupanya, hanya jadi masalah kalau kita membeli beras atau kaus kaki.***

No comments: